Kompas.com — Pendidikan anak usia dini yang berkualitas
akan memberikan hasil yang signifikan terhadap perkembangan fisik,
kognitif, sosial, dan emosional anak. Sayangnya masih banyak ditemui
orangtua yang masih keliru dalam menerapkan pola asuh pada anak-anaknya
yang masih balita.
Salah satu penyebabnya adalah banyak ditemui
pasangan yang sudah siap menikah, tetapi belum siap untuk menjadi
orangtua. Padahal, ketidaksiapan tersebut akan memengaruhi kepribadian
anak di masa depan.
Menurut psikolog Evangeline Suaidy (Eva), ketidaksiapan seseorang
menjadi orangtua bisa dilihat pada respons mereka ketika menghadapi
anaknya yang sedang mendapat masalah. Misalnya, ketika anak masuk ke
dalam rumah dalam keadaan kesal sambil memakai sepatu yang kotor,
orangtua biasanya akan memarahi anaknya, bukan mementingkan perasaan
anak.
”Ini yang salah. Sebagai ibu, seharusnya ia lebih mementingkan apa yang terjadi dengan anaknya. Mencari tahu mengapa si anak marah-marah,” tutur Eva, dalam acara seminar bertajuk Pentingnya Pola Pengasuhan Anak yang diadakan sebagai bagian dari kampanye global untuk pendidikan.
Kesalahan lain yang sering ditemui adalah cara berkomunikasi. ”Ketika anak merasa kesal atau uring-uringan, luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan mereka. Hindari bicara yang tergesa-gesa. Tunggu sampai ia selesai bercerita,” kata Eva.
Setelah anak bercerita, bantulah anak untuk mendapatkan solusi dengan memberikan pertanyaan balik sehingga anak berpikir, memilih, dan menentukan pilihannya sendiri. Misalnya, "menurut kamu bagaimana", atau "maunya bagaimana", sehingga anak belajar untuk membuat pilihan.
”Ini yang salah. Sebagai ibu, seharusnya ia lebih mementingkan apa yang terjadi dengan anaknya. Mencari tahu mengapa si anak marah-marah,” tutur Eva, dalam acara seminar bertajuk Pentingnya Pola Pengasuhan Anak yang diadakan sebagai bagian dari kampanye global untuk pendidikan.
Kesalahan lain yang sering ditemui adalah cara berkomunikasi. ”Ketika anak merasa kesal atau uring-uringan, luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan mereka. Hindari bicara yang tergesa-gesa. Tunggu sampai ia selesai bercerita,” kata Eva.
Setelah anak bercerita, bantulah anak untuk mendapatkan solusi dengan memberikan pertanyaan balik sehingga anak berpikir, memilih, dan menentukan pilihannya sendiri. Misalnya, "menurut kamu bagaimana", atau "maunya bagaimana", sehingga anak belajar untuk membuat pilihan.
Selain komunikasi verbal, Eva juga menyarankan orang tua agar
mengekspresikan empatinya melalui bahasa tubuh, misalnya melalui pelukan
ketika anak sedang merasa tidak stabil sehingga mereka disayangi,
dihargai, dan dicintai.
Eva menambahkan, secara umum ada 12 gaya umum yang salah dalam mendidik anak ketika anak sedang memiliki masalah, yakni memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, memberi cap/label, mengancam, menasihati terlalu dini, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisis.
Eva menambahkan, secara umum ada 12 gaya umum yang salah dalam mendidik anak ketika anak sedang memiliki masalah, yakni memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, memberi cap/label, mengancam, menasihati terlalu dini, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisis.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/24/16222523/Pendidikan.Anak.Usia.Dini.Berdampak.Sampai.Dewasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar